1. PERKEMBANGAN KOLONIALISME INGGRIS DI INDONESIA (1811-1816)
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi mengangkat Raffles sebagai penguasanya. Pusat pemerintahan Inggris berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan langkah-langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan.
Dalam rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip:
· Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat.
· Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial.
· Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa. Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan maupun bidang sosial ekonomi.
a. Kebijakan dalam bidang pemerintahan
Dalam menjalankan tugas di Hindia, Raffles didampingi oleh para penasihat yang terdiri atas: Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan. Selanjutnya untuk memperkuat kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, Raffles mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa yang sekiranya membenci Belanda. Strategi ini sekaligus sebagai upaya mempercepat penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai Kepulauan Nusantara. Sebagai realisasinya, Raffles berhasil menjalin hubungan dengan raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir Belanda dari Hindia. Tetapi nampaknya Raffles tidak tahu balas budi.
Setelah berhasil mengusir Belanda dari Hindia, Raffles mulai tidak simpati terhadap tokoh-tokoh yang membantunya. Sebagai contoh dengan apa yang terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin. Raja Baharuddin termasuk raja yang banyak jasanya terhadap Raffles dalam mengenyahkan Belanda dari Nusantara, tetapi justru Raffles ikut mendukung usaha Najamuddin untuk menggulingkan Raja Baharuddin.
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana II dan Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota. Tetapi nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana II. Melalui seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim surat kepada Raffles. Surat itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi kacau.
Dengan membaca isi surat dari Sultan Raja itu, Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang yang keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak bersama Inggris.
Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut.
1. Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh) ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I.
2. Sultan Hamengkubuwana II dengan puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang.
3. Semua harta benda milik Sultan Sepuh selama menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris.
b. Tindakan dalam bidang ekonomi
Raffles tidak ubahnya Daendels, bisa dikatakan adalah tokoh pembaru dalam menata tanah jajahan. Pandangannya di bidang ekonomi juga cukup revolusioner.
Yang jelas Raffles telah melakukan beberapa tindakan untuk memajukan perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan Raffles antara lain sebagai berikut.
1. Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.
2. Penghapusan pajak dan penyerahan wajib hasil bumi.
3. Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
4. Penghapusan sistem monopoli.
5. Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan.
Kebijakan dan program land rent yang dicanangkan Raffles tersebut tidak terlepas dari pandangannya mengenai tanah sebagai faktor produksi. Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila penduduk Jawa menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. Pajak dipungut perorangan. Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produksi tanah. Tanah yang paling produktif akan membayar pajak sekitar 1/2 dari hasil dan tanah yang paling tidak produktif hanya 1/4 dari hasil. Kalau dirata-rata setiap wajib pajak itu akan menyerahkan sekitar 2/5 dari hasil. Setelah itu petani bebas menggunakan sisanya.
Pajak yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang. Tetapi kalau terpaksa tidak berupa uang dapat juga dibayar dengan barang lain misalnya beras. Kalau dibayar dengan uang, diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor residen. Tetapi kalau dengan beras yang bersangkutan harus mengirimnya ke kantor residen setempat atas biaya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering memotong/mengurangi penyerahan hasil panen itu. Kita tahu bahwa para pimpinan atau pejabat Pribumi sudah dialihfungsikan menjadi pegawai pemerintah yang digaji. Pelaksanaan sistem land rent itu diharapkan dapat lebih mengembangkan sistem ekonomi uang di Hindia.
Kemudian ditempatkannya desa sebagai unit administrasi pelaksanaan pemerintah, dimaksudkan agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa berkembang. Kalau desa berkembang maka produksi juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil penarikan pajak tanah juga akan bertambah besar. Raffles juga ingin memberikan kebebasan bagi para petani untuk menanam tanaman yang sekiranya lebih laku di pasar dunia, seperti kopi, tebu, dan nila.
Raffles memang orang yang berpandangan maju. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan menghadapi berbagai kendala. Budaya dan kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dalam mengatur rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat dari pada asisten residen yang berasal dari orang-orang Eropa. Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih juga dilaksanakan. Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan, dan melakukan monopoli garam. Secara umum Raffles boleh dikatakan kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan sesuai dengan idenya. Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang berarti. Sementara rakyat juga tetap menderita.
2. DOMINASI PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA
Tahun 1816 Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.
a. Jalan tengah bersama Komisaris Jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles. Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di `lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsip prinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk. Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan jalan tengah. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan. Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal.
Gambar 1.19 Van der Capellen
Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Ia berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barang-barang yang diekspor. Yang terjadi justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini sangat merugikan bagi pemerintah Belanda. Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas Negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa, sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi Belanda ini semakin diperberat dengan adanya pemisahan antara Belanda dan Belgia pada tahun 1830. Dengan pemisahan ini Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan negara juga semakin berkurang.
0 comments:
Posting Komentar