Dukung Kami PKN4ALL Dengan Donasi di https://saweria.co/jokosan | Scan Barcode Di Samping | Kami PKN4ALL Besar Karena Dukungan Anda Semua. Terima Kasih!

Materi 7 PPKn : Budaya Politik


BUDAYA POLITIK DI INDONESIA



      A.      Pengertian dan Komponen Budaya Politik
Peran dari budaya politik itu sendiri sebagai suatu bikai dan keyakinan bersama tentang sistem politik untuk memengaruhi proses-proses politik serta perspektif masyarakat tentang dunia politik. Nilai tertinggi pada sebagian budaya politik terletak pada kebebasan individu, tetapi terdapat pula budaya politik yang menempatkan nilai tertinggin pada solidaritas masyarakat.
Komponen penting dalam sistem politik menurut Prof. M. Miriam Budiarj, M.A. adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Sementara itu, Gabriel Almond dan Sydney mengatakan bahwa terdapat lima dimensi penting budaya politik, antara lain:
     1.       Identitas nasional seseorang,
     2.       Sikap terhadap diri sendiri sebagai perserta dalam kehidupan, politik,
     3.       Sikap terhadap sesama warga negara,
     4.       Sikap dan harapan mengenai kinerja pemerintah, dan
     5.       Sikap dan pengetahuan tentang proses politik pengambilan keputusan.
Budaya politik yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya bersifat  dualitis yang berkaitan dengan tiga hal, yaitu:
     1.       Dualisme antara kebudayaan yang berfokus pada perspektif harmonis.
    2.       Dualisme antara budaya yang mengizinkan keleluasan dengan budaya yang mengutamakan keterbatasan.
     3.       Dualisme sebagai konsekuensi dari adanya infiltrasi nilai-nilai budaya Barat ke dalam masyarakat Indonesia.

1.       Pengertian Budaya Politik
Secara harfiah kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yakni budhayah atau bentuk jamak dari budhi yang berarti akal. Cicir dari budaya antara ain dapat dipelajari, diwariskan dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, serta terintegrasi. Sementara itu, kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis, yang berarti negara atau kota. Keberagaman definisi tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
     a)       G. A. Almond dan S. Verba (1990)menyatakan bahwa budaya politik merupakan orientasi dan sikap individu terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya, juga sikap individu terhadap peranannya sendiri dalam system politik tersebut.
     b)      N. Marbun (2005) menulis bahwa budaya politik adalah pandangan politik yang memengaruhi sikap, orientasi, dan pilihan politik seseorang.
     c)       Larry Diamond (2003) menyebutkan bahwa budaya politik adalah keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi masyarakat tentang sistem politik nasionalnya dan peran masing-masing individu dalam sistem itu. 
     d)      Prof. Dr. H. Rusadi Kantaprawira, S.H. mendefinisikan budaya politik sebagai pola tingkah laku individu dan orientasi terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
     e)      Austin Ranney mengartikan budaya politik sebagai seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama atau sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.




2.       Komponen Budaya Politik
a.       Orienasi Warga Negara terhadap Sistem Politik
Almond dan Verba (1990) mengklasifikasikan komponen budaya politik menjadi tiga bentuk orientasi. Ketiga komponen tersebut antara lain sebagai berikut.
        1)      Orientasi yang bersifat kognitif adalah komponen yang meliputi pegetahuan/pemahaman dan keyakinan-keyakinan individu tentang sistem politik dan atributnya.
         2)      Orientasi yang bersifat afektif adalah kompnen yang menyangkut perasaan-perasaan atau ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik.
        3)      Orientasi yang bersifat evaluative adalah komponen yang menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peran individu di dalamnya.

b.       Objek Politik
Objek politik merupakan sasaran dari orientasi warga maka terdapat tiga jenis objek politik yang berkembang, diantaranya:
         ·         Objek politik umum
Berkaitan dengan unsur politik secara menyeluruh.
         ·         Objek politik input
Objek politik yang berperan dalam memberikan masukan terhadap proses politik yang termasuk proses input dalam sistem politik adaah lembaga atau pranata politik.
         ·         Objek politk output
Merupakan hasil proses politik yang termasuk dalam objek politik output adalah output dari sistem politik.

3.       Tipe-Tipe Budaya Politik
            1)      Tipe Budaya Politik yang Berkembang dalam Masyarakat
Menurut Almond dan Verba, terdapat tiga tipe budaya politik ang berkembang dalam suatu masyarakat/bangsa, yaitu sebagai berikut.
                 a.       Budaya Politik Parokial (Parochial Political Culture)
Budaya politik parochial harid ketika warga tidak tahu mengenai pemerintah dan kebijakan-kebijakan pemerintah, serta tidak melihat diri mereka terlibat dalam proses politik (do not know and do not act). Budaya politi parochial ini merupakan budaya politik saat partisipasi warga masyarakat terhadap politik masih sangat rendah. Biasanya budaya politik parochial terjadi dalam wilayah kecil atau sempit. Ciri budaya politik parochial antara lain:
a)       Rendahnya dukungan terhadap pemerintah.
b)      Adanya kedekatan warga dengan suku-suku mereka, daerah, agama, atau kelompok etnis.
c)       Memandang keberhasilan dengan pesimitis sehingga dukungan terhadap pemerintah rendah.

                 b .       Budaya Politik Subjek (Subject Political Culture)
Budaya politik subjek adalah budaya politik yang terjadi ketika warga negara telah memiliki pengetahuan mengenai pemerintah beserta kebijakannya namun belum memiliki orientasi untuk terlibat atau berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Cirri-ciri yang terdapat dalam budaya politik subjek, antara lain:
a)           Adanya dukungan yang tinggi terhadap pemerintah.
b)          Terdapat lebih banyak kepercayaan terhadap grup-grup lain dala masyarakat, dibandingkan pada budaya politik parochial.
c)           Para warga, tetap tidak melihat diri mereka sendiri sebagai peserta aktif yang akan memengaruhi politik.


                c.       Budaya Politik Partisipan (Participan Political Culture)
Masyarakat telah menyadari kehadiran pemerintahan, proses input politik, output dari pemerintah, bahkan masyarakat telah berperan aktif dalam memberikan pandangannya terhadap proses politik melalui organsasi kepentingan atau partai politik. Cirri-ciri politik partisipan antara lain:
a.       Serupa dengan budaya politik subjek dalam hal pengakuan dan penerimaan legitimasi pemerintah.
b.       Kebanyakan orang dalam masyarakat menerima aturan yang sama untuk mendapatkan dan memindahkan kekuasaan (misalnya melalui pemilu).
c.       Tingkat keyakinan warga bahwa tindakan mereka berpengaruh dalam kebijakan politik sangat tinggi.

           2)      Model Kebudayaan Politik
Almond dan Verba, Mochtas Masoed dan Colin MacAndrews menyebutkan adanya tiga model kebudayaan politik sebagai berikut.
a.       Masyarakat Demokratis Industrial
Pada model ini terdiri dari aktivis politik dan kritiku politik. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah masyarakat yang berbudaya politik partisipan mencapai 40-60% dari penduduk dewasa, terdiri dari para aktivis dan peminat politik yang kritis mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan. Smentara itu, jumlah yang berbudaya politik subjek kurang lebih 30% sedangkan jumlah yang berbudaya politik parochial sekitar 10%.
b.       Masyarakat dengan Sistem Politik Otoriter
Pada model ini, seagian masyarakatnya berbudaya politim subjek yang pasif, tunduk terhadap peraturan, tetapi tidak melibatkan diri dalam berbagai kegiatan politik. Kelompok partisipan berasal dari mahasiswa, kaum intelektual, pengusaha, dan tuan rumah. Kaum parokial terdiri dari para petani dan buruh tani yang hidup dan bekerja di perkebunan-perkebunan.
c.       Masyaraat Demokratis Praindustrial
Dalam model ini, sebagian bear warga negaranya menganut budaya politik parokial. Mereka hidup di pedesaan dan tuna aksara. Pengetahuan dan keterlibatan mereka dalam kehidupan politik sangan kecil. Jumlah kelompok partisipan sangat sedikit, biasanya terdiri atas professional terpelajar, usahawan, dan tuan rumah.
       

       B.      Budaya Politik Indonesia
              1.       Pandangan Mengenai Budaya Politik Indonesia
a.       Menurut Nazarudin Sjamsuddin, budaya politik di Indonesia tercermin dari Bhineka Tunggal Ika. Hal ini karena dalam sbuah budaya politik, ciri utama yang menjadi identitas adalah sesuatu nilai atau orientasi yang menonjol dan diakui oleh masyarakat atau bangsa secara keseluruhan.
b.       Menurut Affan Gaffar, sangat sulit untuk mengidentifikasi budaya politik Indonesia. Oleh karena itu, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menggambarkan pola budaya politik dominan. Budaya politik dominan ini berasal dari kelompok etnis dominan, yakni etnis Jawa.
c.       Menurut Herbert Feith, terdapat dua budaya politik dominan di Indonesia yaitu aristokrasi-Jawa dan wiraswasta-Islam. Aristokrasi-Jawa merupakan budaya politik mayoritas masyarakat Jawa. Warga dengan budaya politik wiraswasta-Islam terpencar secara wilayah dan kelas sosial, termasuk para santri di awa Timur dan Tengah dan anggota komunitas Islam.


           2.       Ciri Dominan Budaya Politik Indonesia
Budaya politik Indonesia saat ini adalah campuran dari parokial, subjek, dan partisipan. Dari segi budaya politik partisipan, semua ciri-cirinya sudah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri budaya politik parokial juga ada yang memenuhi yaitu seperti berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik subjek ada yang memenuhi seperti warga ada yang menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah.
Affan Gaffar berpendapat bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu sebagai berikut.
a.       Adanya Hierarki yang Kuat/Ketat
Penguasa memandang dirinya sendiri serta rakyatnya. Penguasa cenderung melihat dirinya sebagai guru/pamong dari rakyat. Sebaliknya, penguasa cenderung merendahkan rakyatnya, memandang sepantasnya rakyat patuh dan taat kepada penguasa karena penguasa pemurah dan pelindung.
b.       Adanya Kecenderungan Patronase (Perlindungan)
Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah hubungan patronase. Sang patron memiliki kekuasaan, kedudukan, jabatan, perlindungan, perhatan, bahka materi (harta, uang, dan lainnya). Adapun klien memiliki tenaga, dukungan, dan kesetiaan.
c.       Adanya Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Menurut Max Weber, dalam negara yang petrimonialistik, penyelenggaraan pemerintah berada di bawah control langsung pemimpin negara.

         C.      Sosialisasi Politik dalam Pengembangan Budaya Politik
               1.       Pengertian Sosialisasi Politik
                    a.       Kenneth P. Langton menyatakan bahwa sosialisasi politik adalah cara masyarakat meneruskan kebudayaan politiknya.
                  b.       Gabriel Almond menyatakan bahwa sosialisasi politik merajuk proses di mana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
           c.       Richard E. Dawson menyatakan bahwa sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai, dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
             d.       Ramlan Surbakti menyatakan bahwa sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik anggota masyarakat.

Berdasarkan berbagai pengertian mengenai sosialisasi politik di atas, kita dapat melihat bahwa hakikatnya, sosialisasi politik adalah suatu proses untuk memasyrakatkan nilai-nilai atau budaya politik ke dalam suatu masyarakat.

       2.       Pembagian Sosialisasi Politik
Ramlan Surbakti (2010) membagi sosialisasi politik dalam dua bagian berdasarkan metode penyampaian pesan yaitu sebagai berikut.
            a.       Pendidikan Politik
Pendidikan politik merupakan proses dialogis diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini,para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem.
          b.       Indoktrinasi Politik
Indoktrinasi politik merupakan proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap penguasa sebagai ideal dan baik.

        3.       Lembaga Sarana atau Agen Sosialisasi Politik
               a.       Keluarga
Pembentukan nilai-nilai politik individu mulai terjadi di dalam keluarga. Di keluarga ditanamkan juga kaidah-kaidah yang harus dipatuhi oleh anak serta nilai-nilai dan keyakinan politik dari kedua orang tua. Selain itu, anak juga belajar bersikap terhadap kekuasaan dan membuat keputusan bersama. Apabila diajarkan berbagai kecakapan untuk melakukan interaksi politik, kelak anak dapat menggunakan kecakapan tersebut untuk berpartisipasi aktif dalam sistem politik. Sebaliknya, jika ditanamkan sikap kepatuhan yang kuat dan ketat, terdapat kemungkinan anak akan takut mengambi inisiatif dalam kehidupan.
             b.       Sekolah
Sekolah member pengetauan kepada peserta didiknya mengenai dunia politik dan peran mereka di dalamnya. Sekolah dapat menjadi tempat para peserta didik belajar mengenai pemerintahan. Peserta didik juga dapat dilatih berorganisasi dan memimpin.
              c.       Kelompok Pergaulan
Dalam kelompok pergaulan, setiap anggota mempunyai kedudukan relatif sama dan saling memiliki ikatan erat. Seseorang dapat melalukan tindakan tertentu karena temen-teman di dalam kelompoknya melakukan tindakan tersebut.
               d.       Tempat Bekerja
Seseorang dapat mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tertentu dan menggunakan kelompok acuan (reference) dalam kehidupan politik. Bagi para anggotanya, organisasi juga dapat berfungsi sebagai penyuluh di bidang politik. Secara tidak langsung, para anggota akan belajar tentang cara-cara hidup dalam suatu organisasi. Pengetahuan itu akan bermanfaat dan berpengaruh ketika mereka terjun ke dunia politik.
               e.       Media Massa
Informasi tentang berbagai peristiwa yang terjadi di dunia segera menjadi pengetahuan umumdalam hitungan jam bahkan menit. Oleh karena itu, media massa baik surat kabar, majalah, radio, televise, dan internet memegang peranan penting. Melalui berbagai saran tersebut, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan informasi tentang politik secara cepat.

Materi 9 Sejarah : Upaya Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa

MATERI 9
UPAYA BANGSA INDONESIA DALAM MENGHADAPI 
ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA



PETA KONSEP

A. Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965)
1. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Ideologi
a. PKI Madiun
b. DI/TII
c. G30S/PKI

2. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Kepentingan.
a. APRA
b. Andi Aziz
c. RMS

3. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan.
a. PRRI dan Persemesta
b. BFO

MATERI
A. Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965)
Pergolakan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh tiga hal yaitu Ideologi, Kepentingan, dan Sistem pemerintahan.

1. Ideologi

a. PKI di Madiun tahun 1948
Latar Belakang
Pada tanggal 7 November 1945 PKI didirikan. Kemudian PKI yang dipimpin oleh Muso mulai mengecam kebijakan politik dan pertahanan nasional. PKI memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis.
Jalannya Pemberontakan
Pada September 1948 terjadi pertempuran bersenjata antara pro PKI dan pro pemerintah. Pasukan PKI terpukul mundur sampai di Madiun dan membentuk basis disana.
Penumpasan
Pasukan pemerintah mengirim operasi militer melalui Divisi Siliwangi I dan II dibawah pimpinan Kolonel Sungkono dan Kolonel Gatot Subroto. Beberapa tokoh PKI seperti D.N. Aidit dan M.H. Lukman meloloskan diri ke Tiongkok dan Vietnam. Adapun Muso berhasil terbunuh dan Amir Sjarifudin tertangkap dan di hukum mati.

b. DI/TII
Pemberontakan terjadi di Jabar, Jateng, Aceh, Sulsel, Kalsel

Di daerah Jawa Barat dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo.
Latar belakangnya adalah perjanjian renville yang menjadikan terbentuknya negara bagian Pasundan dan mengharuskan pasukan RI termasuk pasukan siliwangi pindah dari Jawa Barat. Namun laskar Hizbullah dan Sabilillah di bawah pengaruh Kartosuwiryo menolak pindah dan membentuk Tentara Islam Indonesia (TII).
Untuk memberantas pemberontakan ini tentara ini menggunakan operasi Pagar Betis.

Di daerah Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Pada pemberontakan ini diakibatkan oleh perjanjian Renville yang mengharuskan TNI pindah dari wilayah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Namun Amir Fatah yang menjadi koordinator pasukan di wilayah tersebut tidak mau mengikuti TNI. Antara Amir Fatah dan TNI sering timbul permasalahan, sehingga Amir Fatah memberontak akibat Kartosuwiryo mengangkatnya menjadikannya sebagai Panglima TII di Jawa Tengah. Namun pemberontakan ini tidak berlangsung lama karena tidak mendapatkan dukungan dari penduduk. Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga terjadi pemberontakan oleh K.H. machfudz yang mendukung AUI ( Angkatan Umat Islam). Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya berasal dari laskar Hizbullah.

Di daerah Sulawesi Selatan Pemberontakan dipimpin oleh Kahar Muzakar terjadi pada tanggal 7 Agustus 1953.
Latar belakangnya adalah Kahar Muzakar meminta agar KGSS ( Komando Gerilya Sulawesi Selatan) menjadi tentara dengan nama Brigade Hasanudin namun Pemerintah menolak dan mengharuskan untuk menjadi anggota tentara harus memenuhi syarat dan lewat seleksi.

Di daerah Kalimantan Selatan pemberontakan DI/TII dipimpin oleh Ibnu Hajar. Pemberontakan bermula dari ALRI yang menjadi pasukan utama menghadapi Belanda di wilayah Kalimantan Selatan mengalami penataan ketentaraan, namun beberapa anggotanya mengalami kekecewaan dan memberontak salah satunya adalah Ibnu Hajar. Di akhir tahun 1954 Ibnu Hajar bergabung dengan DI/TII Kartosuwiryo yang menawarkan jabatan tinggi. Pada tahun 1963 Ibnu Hajar menyerah dan dijatuhi hukuman mati.

Di daerah Aceh pemberontakan di pimpin oleh Daud Beureuh. Peristiwa ini dilatar belakangi oleh ketetetapan pemerintah yang menjadikan Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara dan kehilangan status Daerah Istimewa sehingga para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Aceh menolak kebijakan tersebut.

c. Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)

Latar Belakang
1) Perkembangan politik pada saat itu didasarkan pada Nasakom ( Nasionalisme Agama dan Komunis)
2) Kondisi Ekonomi menurun
3) Keputusan pemerintah membubarkan Masyumi dan PSI
4) PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman, seorang tokoh PNI, kedalam PNI.
5) PKI menyebarkan fitnah bahwa pimpinan AD membentuk Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta.

Jalannya Pemberontakan
PKI membentuk komando-komando yaitu :
Komando Pasopati
Komando Bima Sakti
Komando Gatot Kaca

Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.

Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan Revolusi”, sebuah  pengumuman yang membingungkan masyarakat.

Penumpasan
Dalam situasi tak menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30 September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas, menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.

2. Konflik dan Pergolakan Antar Kepentingan

a. Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)

Latar Belakang
Terbentuknya APRA dilatarbelakangi ketidakpuasan beberapa pejuang terhadap kebijakan pemerintah RIS. APRA dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada tahun 1949 dengan dalih sebagai Ratu Adil. APRA beranggotakan tentara KNIL yang tidak setuju dibentuknya APRIS di wilayah Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di Jawa Barat.

Jalannya Pemberontakan
Pada bulan Januari  1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Pasukan APRA mendapatkan dukungan dari tokoh KNIL Belanda. APRA menyerang Kota Bandung dan dapat menguasai beberapa tempat penting. Setelah itu, Westerling berusaha menggulingkan kabinet RIS.

Penumpasan
 Untuk mengatasi kekacauan pemerintah RIS mengirim pasukannya ke Bandung. Perdana Menteri Moh. Hatta mengadakan perundingan dengan Komesaris Tinggi Belanda di Jakarta. Hasil perundingan mendesak agar Westerling meninggalkan Bandung. Akhirnya Westerling dan pasukannya meninggalkan Badung dan sisa pasukannya berhasil dihancurkan.

b. Peristiwa Andi Aziz

Latar Belakang
Peristiwa ini dilatar belakangi oleh Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT).

Jalannya Pemberontakan
Pemberontakan Andi Aziz di Makassar diawali adanya kekacauan di Sulawesi Selatan. Untuk mengatasi kekacauan tersebut pemerintah mengirim pasukan TNI di bawah pimpinan Mayor H.V. Worang untuk meredakan ketegangan. Andi Aziz dan pasukannya menolak keputusan tersebut dan tidak mau bekerja sama. Andi Aziz selanjutnya menyerang markas TNI di Makassar dan dapat menguasainya.

Penumpasan
Untuk menumpas pemberontakan ini dikirimkanlah Kolonel Alex Kawilarang.  Pertempuran antara pasukan APRIS dan KNIL tidak dapat dihindarkan dan APRIS dapat memukul mundur musuh.
Selanjutnya pihak KNIL meminta untuk berunding. Hasilnya adalah kedua pihak setuju untuk menghentikan tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meningggalkan Makassar.

c. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan memisahkan diri dari Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara sendiri. Diproklamasikan oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S. Soumokil pada April 1950, RMS didukung oleh mantan pasukan KNIL.

3. Konflik dan Pergolakan yang Berkait dengan Sistem Pemerintahan.

a. Pemberontakan PRRI dan Permesta

Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Kekecewaan tersebut kemudian berlanjut dengan dibentuknya dewan-dewan daerah.
Terdapat empat dewan daerah yang dibentu, yaitu :
1) Dewan Banteng di Sumatra Barat dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2)  Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
3) Dewan Garuda di Sumatra Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian.
4) Dewan Manguni di Sulawesi Utara dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual

Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hoesain memproklamasikan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia) di Padang Sumatra Barat.

b. Persoalan Negara Federal dan BFO

Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara federal ini (1947).

Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO.

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian,2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.


Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara bagian tersebut bergabung ke RI.

Materi Sejarah 8a. Agresi Militer Belanda 1 dan 2

Agresi Militer 1 dan 2







1. Agresi Militer Belanda 1
Setelah Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda ingin kembali menguasi Indonesia. Dengan diboncengi oleh pihak sekutu, Inggris, Belanda melakukan penyerangan-penyerangan terhadap Negara Indonesia.


Latar belakang
Agresi Militer Belanda 1 dilatar belakangi oleh Belanda yang tidak menerima hasil Perundingan Linggajati yang telah disepakati bersama pada tanggal 25 Maret 1947. Atas dasar tersebut, pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan agresi militer pertamanya dengan menggempur Indonesia.
Tujuan Agresi Militer Belanda 1

Agresi militer pertama yang dilakukan oleh Belanda mengandung beberapa misi yang harus mereka selesaikan. Adapun tujuan dari agresi militer ini adalah sebaga berikut:

1. Bidang Politik
Mengepung ibu kota RI dan menghapus RI dari peta (menghilangkan de facto RI).
2. Bidang Ekonomi
Merebut daerah-daerah penting, seperti Jawa Barat dan Timur sebagai penghasil bahan makanan, Sumatera sebagai wilayah perkebunan dan pertambangan.
3. Bidang Militer
Menghancurkan Tentara Negara Indonesia (TNI).

Sejarah Agresi Militer Belanda 1
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda menggempur Indonesia dengan menyerang Pulau Jawa dan Sumatra. Pasukan TNI yang dikejutkan dengan serangan tersebut, terpencar-pencar dan mundur ke daerah pinggiran untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI selanjutnya membatasi pergerakan pasukan Belanda dengan taktik perang gerilya. Dengan taktik ini, Pasukan TNI berhasil mempersulit Belanda.

Meskipun Belanda berhasil menduduki beberapa kota-kota penting, akan tetapi justru hal ini membuat posisi Republik Indonesia naik di mata dunia. Banyak negara-negara yang simpati dengan Republik Indonesia, seperti Liga Arab yang akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 18 November 1946.

Agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap Indonesia memunculkan permusuhan negara-negara Liga Arab terhadap Belanda. Dengan demikian, kedudukan Republik Indonesia di Timur Tengah secara politik meningkat.

Dewan Keamanan PBB pun ikut campur dalam masalah ini, dan membentuk Komisi Tiga Negara untuk menyelesaikan konflik ini melalui serangkaian perundingan, seperti Perundingan Renville dan Perundingan Kaliurang. Akan tetapi, perundingan-perundingan tersebut tetap tidak diindahkan oleh Belanda.


2. Agresi Militer Belanda 2
Kegagalan PBB dalam menyelesaikan konflik antara Belanda-Indonesia melalui jalan perundingan menyebabkan Belanda tetap bersikeras untuk menguasai Republik Indonesia. Oleh karena itu, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua.

Latar Belakang
Agresi militer Belanda 2 dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mereka terhadap pejanjian Renvile yang telah disepakati. Mereka menolak adanya pembagian kekuasaan dan tetap ingin menguasai Republik Indonesia seutuhnya.

Sejarah Agresi Militer 2
Pada tanggal 19 Desember 1948, tepat pukul 06.00, Belanda melancarkan serangannya ke Ibu Kota Indonesia pada saat itu, Yogyakarta. Dalam peristiwa ini, Belanda menangkap dan menawan pimpinan- pimpinan RI, seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Syahrir (Penasihat Presiden) dan beberapa menteri termasuk Menteri Luar Negeri Agus Salim.
Presiden Soekarno dan Moh. Hatta kemudian diasingkan di Bangka. Jatuhnya Yogyakarta, dan ditawannya beberapa pimpinan RI membuat Belanda merasa telah menguasai Indonesia dan segera membentuk Pemerintah Federal.

Akan tetapi, sebelum Belanda membentuk Pemerintahan Federal, Ir. Soekarno meminta Syarifudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Selanjutnya, Pada tanggal 19 Desember 1948 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berhasil dibentuk di Bukittinggi, Sumatera.

Sementara itu Belanda terus menambah pasukannya ke wilayah RI untuk menunjukan bahwa mereka telah menguasai Indonesia. Namun pada kenyataannya, Belanda hanya menguasai wilayah perkotaan dan jalan raya, sementara itu Pemerintahan RI masih terus berlangsung hingga di wilayah pedesaan.
Rakyat dan TNI bersatu berperang melawan Belanda menggunakan siasat gerilya. TNI yang berada di bawah pimpinan Jenderal Sudirman melancarkan serangan terhadap Belanda dan merusak fasilitas-fasilitas penting, seperti: memutus kawat-kawat telepon, jalan-jalan kereta api, dan menghancurkan jembatan agar Belanda tidak dapat menggunakannya.

Meskipun Jenderal Sudirman sedang berada dalam keadaan sakit, Beliau masih sanggup berperang dengan bergerilya di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan menempuh perjalanan dari Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri.

Pada tanggal 23 Desember 1948, Pemerintah Darurat RI mengirimkan perintah Kepada wakil RI di PBB untuk menyampaikan bahwa pemerintah RI bersedia untuk penghentian peperangan dan mengadakan perundingan.


Namun, Belanda tidak mengindahkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 untuk menghentikan perang. Mereka pula menyakini bahwa RI telah hilang. Akan tetapi, TNI dan rakyat melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk membuktikan bahwa RI masih ada dan TNI masih kuat.


Serangan ini berhasil memukul Belanda keluar dari Yogyakarta. Meskipun Yogyakarta hanya berhasil dikuasai selama 6 jam, kenyataan ini membuktikan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap berjalan.

dari berbagai sumber

Materi Lama

    Dukung Kami PKN4ALL Dengan Donasi di https://saweria.co/jokosan | Scan Barcode Di Atas | Kami PKN4ALL Besar Karena Dukungan Anda Semua. Terima Kasih!

    Postingan Populer

     
    Januari 2020