Pendahuluan
Membaca tema dan subtema dari konferensi ini, menjadi pertanyaan untuk saya secara pribadi. Apa yang hendak didiskusikan dalam pembicaraan kita kali ini? Bila membaca tema yang disampaikan: ―Etika Daerah, Dulu dan Masa Kini, serta Pembentukan Jati Diri Bangsa‖ dengan subtema makalah: ―Etika dalam Budaya, Bahasa, Sastra, dan Seni Daerah sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa‖, terdapat sebuah makna yang membedakannya, terutama yaitu kata ̳pembentukan‘ pada tema dan kata ̳pembentuk‘ pada subtema. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2007: 136), ̳pembentukan‘ berarti proses, cara, perbuatan membentuk; sedangkan ̳pembentuk‘ berarti orang yang membentuk (dalammacam - macam arti); perangkat atau sesuatu yang digunakan untuk membentuk. Memperhatikan hal itu, berarti terdapat sebuah wicara dalam tema bahwa perlu melihat etika daerah dalam proses atau cara membentuk Jati Diri Bangsa masa dulu dan masa kini. Adapun dalam subtema yang perlu diperhatikan adalah bahwa orang yang membentuk atau perangkat yang digunakan untuk membentuk Jati Diri Bangsa berkaitan dengan etika dalam budaya, bahasa, sastra, dan seni daerah. Namun mari kita mendiskusikannya dalam sebuah dialektika yang dapat dilihat dari bermacam-macam aspek yang melatarbelakangi etika sebagai pembentuk Jati Diri Bangsa itu sendiri. Dalam KBBI (2007: 309) etika adalah ilmu mengenai apa baik dan apa buruk, dan mengenai hak dan kewajiban moral (akhlak). Namun kita pun mengetahui bahwa etika adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani kuno ethos, dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) maknanya adalah adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang untuk terbentuknya istilah ―etika‖ yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah digunakan untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka ―etika‖ berarti: ilmu mengenai apa yang biasa dilakukan atau ilmu mengenai adat kebiasaan.
Selanjutnya Bertens mengungkapkan bahwa kata yang cukup dekat dengan ―etika‖ adalah ―moral‖ yang berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam KBBI, 1988), kata mores masih digunakan dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata ―etika‖ sama dengan etimologi kata ―moral‖, sebab keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan 2. Moral dalam KBBI (2007: 754) berarti 1. ajaran mengenai baik jelek yang diterima umum tentang perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila; 2. kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; 3. ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa etika adalah ilmu mengenai nilai-nilai moral yang berkaitan dengan baik dan jelek yang biasa dilakukan ataupun yang sudah menjadi adat kebiasaan. Oleh sebab itu, etika di sini digunakan sebagai perangkat atau sesuatu untuk membentuk Jati Diri Bangsa. Siapa yang membentuknya, tentu berkaitan dengan orang yang berada dalam lingkungan bangsa itu.
Bangsa yang dimaksud di sini adalah bangsa Indonesia. Kini kita lihat sejarah perkembangan mengenai bagaimana terjadinya bangsa Indonesia? Bagaimana seorang proklamator dapat memproklamirkan Indonesia sebagai bangsa yang diakui oleh bangsa-bangsa lain? Budaya apa yang dibawa oleh Bung Karno sebagai seorang proklamator? Sejarah perkembangan bangsa berkaitan dengan jati dirinya yang perlu diperhatikan di sini hingga diproklamirkannya bangsa Indonesia adalah 1. adanya Bhinneka Tunggal Ika yang disepakati sebagai semboyan dari lambang Negara RI; 2. Sumpah palapa sebagai pemersatu nusantara; 3. Sumpah pemuda mewujudkan tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia; 4. Proklamasi kemerdekaan dengan ―semangat proklamasinya‖ Presiden Sukarno mendengungkan semangat persatuan Indonesia. Semua itu saling berkaitan erat sebab adalah pembentuk Jati Diri Bangsa Indonesia yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di antero dunia. Bagaimana pembentukan itu terjadi, mari kita ikuti paparan di bawah ini.
Pembentukan Jati Diri Bangsa
Sejak Negara Republik Indonesia ini merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan kalimat ―Bhinneka Tunggal Ika‖ sebagai semboyan pada lambang negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah digunakan sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).
Terjemahan: Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua.
Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika |
Frasa itu berasal dari bahasa Jawa Kuna dan diterjemahkan dengan kalimat ―Berbeda-beda tetapi tetap satu‖. Kemudian terbentuklah Bhineka Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.
Munandar (2004:24) dalam Tjahjopurnomo S.J. mengungkapkan bahwa sumpah palapa secara esensial, isinya mengandung makna mengenai upaya untuk mempersatukan Nusantara. Sumpah Palapa Gajah Mada hingga kini tetap menjadi acuan, sebab Sumpah Palapa itu bukan hanya sehubungan dengan diri seseorang, namun sehubungan dengan kejayaan eksistensi suatu kerajaan. Oleh sebab itu, sumpah palapa adalah aspek penting dalam pembentukan Jati Diri Bangsa Indonesia. Menurut Pradipta (2009), pentingnya Sumpah Mpu Tantular. Kakawin Sutasoma. Penerjemah: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo. 2009: 504- 505.
Palapa sebab di dalamnya terdapat apa yang dinyatakan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa” (kalau sudah menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/tirakatnya). Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita itu di atas adalah Serat Pararaton. Kitab itu memiliki peran yang strategis, sebab di dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata ̳sumpah‘ itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuna menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah seperti berikut ini: Sira Gajah Mada Patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
Terjemahan: Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa (nya). Beliau Gajah Mada: ―Jika sudah mengalahkan nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil) mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya)‖
Kemudian dilanjutkan dengan adanya Sumpah Pemuda yang tidak kalah penting dalam sejarah perkembangan pembentukan Jati Diri Bangsa ini. Tjahjopurnomo (2004) menyatakan bahwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 secara historis adalah rangkaian kesinambungan dari Sumpah Palapa yang terkenal itu, sebab pada intinya sehubungan dengan persatuan, dan hal ini disadari oleh para pemuda yang mengucapkan ikrar itu, yakni terdapatnya kata sejarah dalam isi putusan Kongres Pemuda Kedua. Sumpah Pemuda adalah peristiwa yang maha penting untuk bangsa Indonesia, setelah Sumpah Palapa. Para pemuda pada saat itu dengan tidak memperhatikan latar kesukuannya dan budaya sukunya berkemauan dan berkesungguhan hati merasa mempunyai bangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ini menandakan bukti mengenai kearifan para pemuda pada saat itu. Dengan dikumandangkannya Sumpah Pemuda, maka sudah tidak ada lagi ide kesukuan atau ide kepulauan, atau ide propinsialisme atau ide federaslisme. Daerah-daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu, serta sudah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya disorong oleh kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu.
Pada saat kemerdekaan diproklamirkan, 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh Soekarno-Hatta, kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara RI. Sejak saat itu, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh adalah gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu mengenai “jantraning alam” (putaran zaman) Indonesia.
Yang wajib kita lakukan adalah, dengan kesadaran baru yang ada pada tingkat kecerdasan, keintelektualan, serta kemajuan kita sekarang ini, bahwa bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang sudah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu bangsa Indonesia, walaupun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara/bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Hal itu tidak terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati dari bangsa.
Pembentukan Jati Diri Daerah
Hingga saat ini, ke-Bhinneka Tunggal Ika-an itu, di beberapa daerah masih terwujud dengan mempertahankan etika masing-masing kedaerahan, baik budaya, bahasa, sastra, atau seni daerahnya, yang hidup berdampingan dengan tentram dan damai. Mengapa hal itu tetap dapat terwujud? Jawaban yang paling mendasar adalah terdapat pada individu manusia yang mempunyai perilaku budaya sebagai landasan tindakannya. Akan tetapi tidak terlepas dari sifat dasar manusia itu sendiri, yaitu baik, jujur, cerdas, murah hati, tidak berbahaya, suka menolong, ramah dan suka damai 8. Sifat dasar itu tercermin di dalam keseharian pergaulan antar manusia yang mengatur komunikasi, perilaku, dan adat istiadat sebagai etika yang dimiliki oleh suku-suku bangsa masing-masing. Di bawah ini adalah gambaran dari beberapa etika daerah yang mewujudkan jati diri daerah setempat di mana bahasa, sastra, budaya, dan seni daerah lainnya hidup berdampingan dalam kebersamaan dan saling hormat-menghormati.
Etika Bahasa
Provinsi Kepulauan Riau sebagai Provinsi yang berbatasan dengan negara tetangga dan berada pada jalur perdagangan internasional, sejak zaman dahulu berlangsung asimilasi dan perpaduan budaya. Provinsi ini dihuni 17 suku, masing-masing Melayu Sumatera dan Kalimantan, Minang, Jawa, Bugis, Batak, Sunda, Aceh, Bali, Madura, Nias, Flores, Dayak, Papua, Betawi, Ambon, dan China. Keanekaragaman suku ini membawa kekayaan bahasa daerah. Ada 10 bahasa dijadikan perangkat komunikasi di sana, masing-masing Bahasa Melayu, Minang, Jawa, Bugis, Batak, Sunda, aceh, Bali, Madura, minang, dan Nias. (Sosial Budaya Provinsi Kepulauan Riau, 04-01-2008) Provinsi Bengkulu mempunyai empat bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Bengkulu, yakni : Bahasa Melayu, Bahasa Rejang, Bahasa Pekal, Bahasa Lembak. Penduduk Provinsi Bengkulu berasal dari tiga rumpun suku besar terdiri atas Suku Rejang, Suku Serawai, Suku Melayu. Sedangkan lagu daerah yaitu Lalan Balek. Falsafah hidup masyarakat setempat, “Sekundang setungguan Seio Sekato”. Bagi masyarakat Bengkulu pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama yang sering kita dengar dengan bahasa pantun yaitu: ”Kebukit Samo Mendaki, Kelurah Samo Menurun, Yang Berat Samo Dipikul, Yang Ringan Samo Dijinjing”, maknanya dalam membangun, pekerjaan seberat apapun jika sama-sama dikerjakan bersama akan berasa ringan juga. Selain itu, ada pula ”Bulek Air Kek Pembukuh, Bulek Kata Rek Sepakat”, maknanya bersatu air dengan bambu, bersatunya pendapat dengan musyawarah. (Sosial Budaya Provinsi Bengkulu, 04-01-2008)
Provinsi Jawa Tengah hanya mempunyai satu bahasa daerah dan satu suku di Jawa Tengah, yakni Jawa. Untuk membina budaya lokal sudah diselenggarakan Kongres Bahasa Jawa IV pada 10-14 Oktober 2006. Kongres ini diikuti oleh utusan dari seluruh Indonesia atau utusan luar negeri. Salah satu tindak lanjut rekomendasi kongres ini adalah penerapan kurikulum Bahasa Jawa sebagai mata pelajaran muatan lokal pada jenjang SD/sederajat, SLTP/sederajat, dan SMA/sederajat di Jawa Tengah. (Sosial Budaya Provinsi Jawa Tengah, 04-01-2008)
Etika Sastra
Provinsi Jawa Barat, masyarakatnya mempunyai keunikan dalam menganut falsafah hidup yang berasal dari sebuah puisi, yaitu: Silih Asah Silih Asih Silih Asuh
Kata-kata puitis ini bukan sembarangan puisi, melainkan sebagai filsafat hidup yang dianut mayoritas penduduk Jawa Barat. Filosofi ini mengajarkan manusia untuk saling mengasuh dengan landasan saling mengasihi dan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Sejatinya, inilah suatu konsep kehidupan demokratis yang berakar pada kesadaran dan keluhuran akal budi, yang akar filsafatnya menusuk jauh ke dalam bumi dalam pengertian harafiah. Perda Kebudayaan Jawa Barat bahkan mencantumkan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, (kesenian, kepurbakalaan dan sejarahnya, nilai-nilai tradisional dan juga museum sebagai bagian dari pengelolaan kebudayaan). Pariwisata berbasis kebudayaan yang menampilkan seni budaya Jawa Barat, siap ditampilkan dan bernilai ekonomi.(Sosial Budaya Provinsi Jawa Barat, 04-01-2008)
Etika Budaya
Provinsi Bali mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri. Dalam tata pemerintahannya terkenal dengan pemerintahan dinas dan adat. Keberadaan lembaga adat diatur dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 mengenai Desa Pakraman. Jumlah desa Pakraman pada 2005 sebanyak 1.432 buah, terdiri atas 3.945 buah Banjar Adat. Disamping itu terdapat pula 276 situs bersejarah yang masih terpelihara dengan baik. Jumlah kelompok (sekaha) seni tari di Bali mencapai 3.738 buah, seni musik/kerawitan 7.944 buah dan kelompok pesantian 1.765 buah. Kehidupan sosial budaya masyarakat Bali dilandasi filsafah Tri Hita karana, maknanya Tiga Penyebab Kesejahteraan yang perlu diseimbangkan dan diharmosniskan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Perilaku kehidupan masyarakatnya dilandasi oleh falsafah ―Karmaphala‖, yaitu keyakinan akan adanya hukum sebab sebab-akibat antara perbuatan dengan hasil perbuatan. Sebagian besar kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan bermacam-macam upacara agama/adat, sehingga kehidupan spiritual mereka tidak dapat dilepaskan dari bermacam-macam upacara ritual. Karena itu setiap saat di beberapa tempat di Bali terlihat sajian-sajian upacara. Upacara itu ada yang berkala, insidentil dan setiap hari, dan dikelompokan menjadi lima jenis yang disebut Panca Yadnya. Salah satu kearifan lokal yang lain adalah keberadaan Lembaga Subak sebagai lembaga yang mengatur mengenai sistem pengairan tradisional Bali yang bersifat sosio-religius. Lembaga ini terdiri atas Subak yang mengelola pertanian lahan basah (sawah) dan Subak Abian yang mengelola pertanian lahan kering (tegalan). Pada tahun ini terdapat 1.312 subak (Sosial Budaya Provinsi Bali, 04-01-2008).
Etika Seni
Di Banten terdapat peninggalan warisan leluhur yang sangat dihormati, antara lain Mesjid Agung Banten Lama, Makam keramat Panjang, Masjid Raya AL-A‘zhom dan beberapa peninggalan historis lainnya yang bernuansa religi. Latar belakang historis ini membuat mayoritas penduduk Banten mempunyai semangat religius keislaman yang sangat kuat dengan tingkat toleransi tinggi. Sebagian besar masyarakat memang memeluk Islam, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai. Dalam ukuran tertentu, Banten bisa menjadi salah satu contoh laboratorium raksasa pluralisme agama di Indonesia. Kondisi sosial budaya masyarakat Banten diwarnai oleh potensi dan kekhasan budaya masyarakatnya yang sangat variatif, mulai dari seni bela diri pencak silat, debus, rudat, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung, dan lojor. Hampir semua seni tradisionalnya sangat kental diwarnai dengan etika Islam. Ada juga seni tradisional yang datang dari luar kota Banten, tapi semua itu sudah mengalami proses akulturasi budaya sehingga terkesan sebagai seni tradisional Banten, misalnya seni kuda lumping, tayuban, gambang kromong dan tari cokek. Provinsi Banten juga terkenal dengan masyarakat tradisonalnya yang masih memegang teguh adat tradisi, baik cara berpakaian atau pola hidup lainnya. Mereka dikenal dengan suku Baduy yang tinggal di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy biasanya terletak di daerah aliran sungai Ciujung di pegunungan Kendeng.
Meski kesenian di Banten banyak ragamnya, debus adalah kesenian yang paling populer. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Agama Islam dikenalkan oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon pada 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, saat kekuatan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai perangkat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajahan Belanda. Apalagi, di masa pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). (Sosial Budaya Provinsi banten, 04-01-2008)
Berdasarkan contoh-contoh etika daerah itu, Provinsi DKI Jakarta Jakarta mempunyai keragaman etika daerah dari sabang hingga merauke. Provinsi provinsi DKI mempunyai penduduk lebih dari 300 suku bangsa dengan 200 bahasa. Sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta adalah titik pertemuan budaya nasional dan internasional. Jakarta menjadi barometer perkembangan budaya bangsa Indonesia. Berbagai atraksi budaya, kuliner, dan seni ditampilkan secara rutin dalam bermacam-macam event kebudayaan di Pusat Kota Jakarta. Provinsi DKI Jakarta secara rutin mengadakan pemilihan abang dan none Jakarta. Dalam bermacam-macam kegiatan itu, selalu ditampilkan ―Ondel-ondel Boneka Khas Betawi (Penduduk Asli Jakarta).
Kini, dalam perjalanan sejarah perkembangan Indonesia, untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan dalam mengangkat Jati Diri Bangsa, Departemen Pariwisata mencanangkan ―Visit Indonesian Year‖ agar bangsa Indonesia tetap mempunyai kewibawaan di kancah Internasional. Demi mempromosikan Indonesia itu, Pemerintah membangun visi misi dan strategi pembangunan nasional dalam mewujudkan Jati Diri Bangsa kembali. Visi misi dan strategi pembangunan nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika Sekretariatan Negara Republik Indonesia dari tahun 2004 – 2009 (29-12-2005), masing-masing berbunyi:
Visi
- Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang aman, bersatu, rukun dan damai;
- Terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan dan hak azasi manusia; serta
- Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan kehidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Misi
- Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai;
- Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis; serta
- Mewujudkan Indonesia yang sejahtera
Strategi pokok yang ditempuh.
Strategi Penataan Kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasar semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia disegala bidang adalah perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.
Dari uraian panjang di atas, sudah terbukti bahwa sesungguhnya suku bangsa di bermacam-macam daerah di Indonesia sudah mewujudkan jati dirinya masing-masing, sehingga membentuk Jati Diri Bangsa. Jati Diri Bangsa Indonesia berawal dari Jati Diri Nusantara yang berakar pada Bhinneka Tunggal Ika sesuai yang tersurat dalam Kakawin Sutasoma. Dan masing-masing daerah di Indonesia sejak zaman dulu sudah memiliki kesadaran akan Ke- Bhinneka Tunggal Ika-annya itu, yang secara etika ingin mempersatukan bangsa ini. Dengan kata lain, etika-etika daerah yang dipaparkan di atas, adalah bagian dari jati diri bangsa Indonesia yang dicakup dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lalu di mana letak problem dalam pembentukan Jati Diri Bangsa saat ini? Dan bagaimana kita menjaga jati diri bangsa untuk menindaklanjuti seminar-seminar semacam ini?
Bila merujuk pada struktur kebangsaan, bangsa terdiri atas berbagai suku bangsa di bermacam-macam daerah. Daerah terdiri atas masyarakat yang terdapat di dalamnya. Masyarakat terdiri atas kumpulan kelompok individu. Induvidu-individu terdapat di dalam keluarga. Maka pembentukan jati diri bangsa tidak terlepas dari pembentuk-pembentuknya itu, yaitu daerah, kelompok masyarakat, dan individu masing-masing. Oleh sebab itu, marilah kita semua berusaha melihat kembali jati diri bangsa dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga dan diri kita sendiri.
Pembentukan Jati Diri Pribadi
Sokrates menyatakan: ―Ketimbang mempertanyakan dunia, akan lebih baik kalau kita mempertanyakan diri sendiri‖ dengan ungkapannya ―Kenalilah dirimu sendiri‖ 10. Bertens (1993: 53) memaparkan bahwa dalam diri kita, ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, yaitu hati nurani. Hati nurani adalah semacam ―saksi‖ mengenai perbuatan-perbuatan moral kita. Dari pendapat itu dapat dijadikan sebuah pijakan awal dalam pembentukan jati diri pribadi untuk mengenal diri sendiri dengan hati nurani sebagai polisi diri yang mengawasi tindakan yang dilakukan setiap individu. Pradipta (2004: 41-43) berpendapat bahwa saat seseorang sudah mengenal, memahami, dan menghayati secara utuh mengenai dirinya, maka saat itu dia telah menemukan jati dirinya. Ini membutuhkan latihan yang terus-menerus tidak ada putus-putusnya. Manusia yang sudah terkondisi seperti itu, sudah tidak memiliki waktu untuk berbuat yang tidak baik. Selanjutnya Pradipta mengungkapkan bahwa dalam budaya Jawa—sebagai salah satu bagian dari budaya dunia—yang mempunyai budaya Ketuhanan Yang Maha Esa dengan laku Memayu Hayuning Bawono, tidak dapat diragukan lagi juga mempunyai kesanggupan dan kemampuan melengkapkan hidup manusia lahir-batin, jasmani-rohani, jiwa-raga, materiil-spiritual, individual-sosial, nasional-internasional, dan dunia-akhirat. Ini berarti bahwa budaya Ketuhanan Yang Maha Esa sanggup dan mampu pula menjamin kelangsungan hidup selamat, bahagia, sejahtera di dunianya masing-masing. Dalam konteks ini manusia sebagai makhluk individual dan makhluk sosial tidak dibedakan peranannya. Maksudnya adalah bahwa seseorang, apa pun kedudukannya—baik sebagai individu atau sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat, bahkan kalau pun dia berkesempatan sebagai pemimpin pemerintahan, pemimpin Negara, pemimpin bangsa, dan lain-lain—ia mempunyai peran yang sama yaitu berkewajiban menjalankan laku Memayu Hayuning Bawono sebagai laku hidup manusia. Dengan kata lain, hal itu dapat terjadi sebagai keberlangsungan dalam kehidupan sehari-hari untuk manusia yang sudah memiliki kesadaran diri.
Untuk menunjukkan kesadaran itu, Bertens (1993: 52-53) membedakan antara pengenalan dan kesadaran. Mengenal adalah bila kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu, sedangkan kesadaran adalah kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan sebab itu berefleksi mengenai dirinya. Seekor hewan tidak berpikir atau berefleksi mengenai dirinya sendiri. Misalnya, apakah gajah tahu bahwa dirinya seekor gajah? Oleh sebab itu, hanya manusia yang memiliki kesadaran itu. Dalam diri manusia bisa berlangsung semacam ―penggandaan‖: dia bisa kembali kepada dirinya sendiri. Penggandaan yang dimaksud adalah bahwa dalam proses pengenalan, manusia bukan saja berperan sebagai subjek, namun dia juga sebagai objek. Sambil melihat, saya sadar akan diri saya sendiri sebagai subjek yang melihat. Seperti sudah dipaparkan di muka bahwa dalam diri kita ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Instansi itu adalah hati nurani. Bagaimana hati nurani dapat bekerja dengan aktif? Sebagaian besar bergantung pada pendidikan. Jadi dapat dikatakan dibutuhkan suatu proses belajar dalam kehidupan. Bertens (1993: 64) mengungkapkan bahwa hati nurani yang dididik dan dibentuk dengan baik, dapat memberikan penyuluhan tepat dalam hidup moral kita.
Dengan demikian, dalam pembentukan jati diri pribadi, masing-masing individu perlu mengenali, memahami, menghayati dirinya sendiri dengan kesadaran penuh sebagai tindakan untuk turut membangun jati diri bangsa. Bertolak dari kesadaran diri, yang ditularkan kepada lingkungan keluarga, lalu terimplementasikan dalam kehidupan kelompok masyarakat dan turut berperan aktif dalam mewujudkan perkembangan, pertahanan, dan pelestarian jati diri daerahnya masing-masing. Selanjutnya menjadikan jati diri daerah masing-masing itu sebagai jati diri bangsa.
Penutup
Memperhatikan paparan di muka, maka kita dapat memetik manfaat bahwa sesungguhnya sejak zaman dulu jati diri bangsa sudah terbentuk dari etika kesadaran pemilik bangsa yang terletak dari masing-masing individu atau masyarakatnya. Bangsa ini dibangun dengan pilar bernama Bhinneka Tunggal Ika yang sudah mengantarkan kita sampai hari ini menjadi sebuah bangsa yang terus semakin besar di antara bangsa-bangsa lain di atas bumi ini, yaitu bangsa Indonesia, walaupun berbeda-beda (suku bangsa) tetapi satu (bangsa Indonesia). Dan dikuatkan dengan pilar Sumpah Palapa diikuti oleh Sumpah Pemuda yang mengikrarkan persatuan dan kesatuan Nusantara/bangsa Indonesia, serta proklamasi kemerdekaan dalam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Daerah-daerah adalah bagian yang tidak bisa dipisah-pisahkan dari satu tubuh, yaitu tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda adalah ide kebangsaan Indonesia yang bulat dan bersatu , serta sudah mengantarkan kita ke alam kemerdekaan, yang pada intinya disorong oleh kekuatan persatuan Indonesia yang bulat dan bersatu itu. Hal itu tidak terlepas dari pembentukan jati diri daerah sebagai dasar pembentuk jati dari bangsa.
Strategi Penataan Kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasar semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Sumber:
Turita Indah Setyani
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
0 comments:
Posting Komentar