Sidang ASEAN (dok: http://hadisupriyono.blogspot.com) |
Jelaskan 3 tahap proses pembuatan perjanjian internasional?
Jawab:
Menurut Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Perjanjian internasional adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apa pun namanya.
Maksud pembentuk treaty mensyaratkan pesertanya harus negara dan bentuknya tertulis semata-mata untuk memperkecil ruang lingkupnya. Sedangkan untuk sengketa yang pihaknya bukan negara misalnya organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional atau organisasi dengan negara. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Jadi, walaupun para pihaknya adalah negara bila ada klausul bahwa para pihak tunduk pada hukum nasional salah satu peserta maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai perjanjian internasional tetapi dapat disebut kontrak.
Berdasarkan pendapat para ahli hukum internasional
Ada beragam pendapat diantara ahli tentang masalah ini. Mochtar Kusumaatmaja (1982) menegaskan bahwa berdasarkan praktik di beberapa negara, dikenal 2 cara pembentukan perjanjian internasional:
1) Tahap Perundingan (negotiation)
Jawab:
Menurut Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Perjanjian internasional adalah persetujuan yang dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah terdiri dari satu atau lebih instrumen dan apa pun namanya.
Maksud pembentuk treaty mensyaratkan pesertanya harus negara dan bentuknya tertulis semata-mata untuk memperkecil ruang lingkupnya. Sedangkan untuk sengketa yang pihaknya bukan negara misalnya organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional atau organisasi dengan negara. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Jadi, walaupun para pihaknya adalah negara bila ada klausul bahwa para pihak tunduk pada hukum nasional salah satu peserta maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai perjanjian internasional tetapi dapat disebut kontrak.
manfaat office 365 |
Berdasarkan pendapat para ahli hukum internasional
Ada beragam pendapat diantara ahli tentang masalah ini. Mochtar Kusumaatmaja (1982) menegaskan bahwa berdasarkan praktik di beberapa negara, dikenal 2 cara pembentukan perjanjian internasional:
- A. Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional melalui tiga tahapan yaitu:
1) Tahap Perundingan (negotiation)
Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut ditinjau dari sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahka. Penunjukkan wakil suatu negara dalam perundingan diserahkan sepenuhnya kepada negara bersangkutan.
2) Tahap Penandatangan (signature)
2) Tahap Penandatangan (signature)
Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila koferensi tidak menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan penendatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, berarti suatu negara telah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.
3) Tahap Ratifikasi (ratification)
Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi.
Hampir senada dengan Mochtar Kusumaatmaja, Pierre Fraymond (1984) mengemukakan 2 prosedur pembuatan perjanjian internasional yaitu:
1. Prosedur normal atau klasik.
Prosedur ini mengharuskan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan, penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi.
2. Prosedur yang disederhanakan (simplified).
Prosedur ini tidak mensyaratkan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul untuk penyelesaian secara cepat.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan ke dua prosedur terletak pada perlu atau tidaknya persetujuan parlemen dalam pembuatan perjanjian internasional.
Berdasarkan hukum posisitf Indonesia
Dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun 2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap:
Pengesahan naskah perjanjian (authentication of the text) adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval).
3) Tahap Ratifikasi (ratification)
Meskipun delegasi suatu negara telah menandatangani suatu perjanjian internasional, tidak berarti bahwa negara tersebut secara otomatis terikat pada perjanjian itu. Negara tersebut baru terikat pada materi/ isi perjanjian setelah naskah tersebut diratifikasi.
- B. Melalui dua tahapan yaitu perundingan dan penandatanganan.
Hampir senada dengan Mochtar Kusumaatmaja, Pierre Fraymond (1984) mengemukakan 2 prosedur pembuatan perjanjian internasional yaitu:
1. Prosedur normal atau klasik.
Prosedur ini mengharuskan adanya persetujuan parlemen, dengan melalui tahap perundingan, penandatanganan, persetujuan parlemen, dan ratifikasi.
2. Prosedur yang disederhanakan (simplified).
Prosedur ini tidak mensyaratkan persetujuan parlemen dan ratifikasi. Prosedur ini timbul untuk penyelesaian secara cepat.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan ke dua prosedur terletak pada perlu atau tidaknya persetujuan parlemen dalam pembuatan perjanjian internasional.
Berdasarkan hukum posisitf Indonesia
Dalam Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, maka pembuatan perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.
Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dengan UU Nomor 24 tahun 2000. Dalam UU ini ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap:
- 1. Penjajakan
- 2. Perundingan
- 3. Perumusan naskah
- 4. Penerimaan naskah perjanjian
- 5. Penandatanganan
- 6. Pengesahan naskah perjanjian
Pengesahan naskah perjanjian (authentication of the text) adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan persetujuan (approval).
0 comments:
Posting Komentar