Ricuh Sidang Paripurna DPR RI |
Ki Hajar Dewantara, yang kita kenal sebagai tokoh pendidikan Indonesia membuat sebuah mutiara kata yang sangat filosofis bagi pendidikan bangsa, dengan semboyannya, "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani". Sangat sinkron dan mendapatkan posisi tepat di hati masyarakat Indonesia yang mengedepankan hati, selain naluri. Berbeda dengan pendidikan ala barat, yang selalu mendedepankan nalaritas, ketimbang hati. Kalau dikaji lebih kini, ternyata semboyan Ki Hajar tersebut recomended pada penataan kurikulum pendidikan akhir-akhir ini. Tetapi "hanya" diambil bagian "contohnya" saja. Jadi seolah-olah "mencontoh" sah-sah saja, termasuk mencontoh hal-hal yang fundamental bagi penataan pendidikan bangsa kita. Ini terbukti pada setiap kesempatan sosialisasi dan diseminasi kurikulum baru, para pembicara selalu mengkiblat-kiblatkan kita pada pola pengembangan kurikulum Eropa atau Amrik, Jepang dan lainnya. Alhasil kulitnya kita dapat, sementara isi (substansi) yang menjadi pokok justru terabaikan, atau ditata ulang di belakang.
Diskripsi di atas sebagai dasar untuk menyorot reaktualisasi pendidikan di Indonesia, terkait dengan pengembangan kurikulum yang mengakibatkan bangsa kita banyak kehilangan jati dirinya, rapuh ideologinya dan berdampak pada rendahnya nasionalisme bangsa. Reaktualisasi memang menjadi keharusan, untuk memberikan dampak dan "kaca" real bagi generasi bangsa. Yang menjadi masalah adalah, "Dimulai dari mana reaktualisasi itu?"
Bila menyimak diskripsi di atas, sepertinya sudah menjadi "adat" bahwa bila ada yang salah, bagian bawahlah yang dikoreksi dulu, beracuan pada "Ing Ngarso Sung Tulodho" sudah barang tentu yang menjadi objek adalah yang di"tulodhoi", dalam hal ini menunjukkan para kreator bangsa kita seolah-olah sudah pada posisi yang benar dan kebal koreksi dari kesalahan. Padahal reaktualisasi selalu merujuk pada pengalaman dan perkembangan. Pengalaman rujukanya adalah aktualisasi, apa yang aktual dari bangsa kita? Yang aktual adalah faktual, fakta bagaimana prosesi kepemimpinan atau ke"tulodho"an para pemimpin kita. Perilaku faktual yang tidak presentatif tiap hari nampak di "mata" seluruh elemen generasi kita, dramatisasi birokrasi seolah terkonsep ala guyonan "OVJ, Opera Van Java". Mana yang patut dicontoh dari apa yang terlihat di media? Jika Wakil Rakyat di DPR berdebat kusir hingga melempar kursi, jika tidak setuju bukannya mufakat, tapi walkout? Jika ada demonstrasi selalu berujung anarkisme? Jika di persidangan pengadilan pak Hakim diserang pengunjung? Jika tuntutan berbuah perkelahian masal? Jika ada proyek rebutan korupsi? Semua jelas terpampang dan siap dinikmati oleh mata-mata mungil generasi kita. Lantas para "cendekiawan demokratis" berbicara, "itu kan presentasi sebuah sikap demokrasi!". Kalau demokrasi bangsa kita seperti ini, apa bedanya dengan demokrasi yang lain? Bukankah ditataran ideologi jelas bahwa nilai dasar demokratisasi kita adalah Pancasila? Artinya bahwa sila-sila Pancasila itu mendasari pemikiran bangsa kita.
Coba cermati satu kasus berikut ini: Ketika sidang BBM yang baru lalu beberapa Fraksi yang tidak setuju kenaikan BBM walkout (keluar dari sidang), bagi mereka sudah mematok harga mati, tidak setuju. Padahal di Sekolah anak-anak kita tahu persis, bahwa dasar demokrasi adalah Pancasila Sila ke-4, dan landansan konstitusinya adalah pasal 28 UUD 1945. Nilai Pancasila jelas dipahami oleh anak-anak bahwa jika seseorang atau kelompok tidak setuju terhadap keputusan musyawarah, maka yang tidak setuju tersebut dengan rasa tanggung jawab melaksanakan hasil keputusan musyawarah, artinya tidak harus walkout. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah. Lantas bagaimana jika anggota DPR kita walkout? Sebuah dramatisasi nilai yang jelas-jelas salah!.
Demonstrasi selalu berujung pengrusakan, premanisme, sebuah arogansi sikap yang hanya patut ditampilkan oleh masyarakat yang tidak beradab. Para pimpinan kita jika korupsi juga tidak tanggung-tanggung. Terencana dan sistematis, sebuah pola kerja yang tertata. Tertata bila suatu saat kebobrokannya terkuak mudah mengelak.
Dari presentasi perilaku yang tersaji hampir semuanya menunjukkan "missing value", berdampak pada disversifikasi perilaku. Akhirnya pendidikan terkonsep pada dualisme nilai yang bertentangan. Ambiguitas pemahaman akan terjadi. Anak tahunya A, ternyata contoh yang terlihat B bahkan Z. Jika demikian mungkinkah menghasilkan generasi yang berkualitas Indonesia?
Tentu Anda sepakat, kalau kita menjawab pertanyaan "Dari mana reaktualisasi dimulai?" jawabanya adalah dari para pemimpin kita. Luruskan dulu para birokrat pemegang birokrasi, pahamkan kembali kemuliaan culture bangsa pada para politikus. Bekali wakil rakyat kita dengan jiwa kerakyatan yang berperikemanusiaan dan beradab. Barulah mereka bisa menata yang dibawah.
Jika kurikulum yang menjadi objek sasaran tanpa membenahi mentalitas pemimpin kita, ibarat menyapu lantai agar bersih, tapu sapunya kotor, diulangpun akan tetap kotor lantainya. Mengikis ambiguitas nilai, meminimkan disversifikasi nilai. InsaAllah kita menjadi bangsa yang beradab.
0 comments:
Posting Komentar