Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan, tindakan guru yang menegur atau menghukum muridnya dalam rangka penerapan disiplin selama masih dalam koridor pendidikan tidak bisa dipidanakan. Aparat penegak hukum hendaknya bijak dalam menyikapi pengaduan masyarakat yang berkait dengan relasi guru dan murid.
Menurut Hidayat, kalau tindakan sang guru sudah keterlaluan, misalnya sampai menganiaya, memukuli atau tindak kekerasan yang melewati batas, baru bisa diadukan ke pihak yang berwajib.
“Tapi kalau sekadar dicubit atau dihukum hanya karena ingin menegakkan disiplin lantas diadukan ke penegak hukum, bagaimana nasib dunia pendidikan kita,” ujar Hidayat.
Hidayat menyebutkan, terkait dengan relasi guru dan murid ini Mahkamah Agung (MA) RI pernah mengeluarkan keputusan yurisprudensi bahwa guru tidak bisa dipidanakan saat menjalankan profesinya melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. Keputusan MA tersebut dikeluarkan saat mengadili seorang guru dari Majalengka bernama Aop Saepudin tanggal 6 Mei 2014.
Kasusnya bermula ketika pada Mei 2012 Aop mendisiplinkan empat siswa berambut gondrong dengan mencukurnya. Salah seorang siswa tidak terima kemudian memukuli dan mencukur balik Aop. Polisi dan jaksa kemudian melimpahkan kasus Aop ke pengadilan.
Aop dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak, Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak, dan Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Tapi MA menganulir putusan itu dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Salman Luthan dengan anggota Syarifuddin dan Margono.
Ketiga hakim MA membebaskan Aop karena sebagai guru ia mempunyai tugas mendisiplinkan siswa. Apa yang dilakukan Aop adalah bagian dari tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana, karenanya terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut sebab bertujuan mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin. (Antara)
Kasusnya bermula ketika pada Mei 2012 Aop mendisiplinkan empat siswa berambut gondrong dengan mencukurnya. Salah seorang siswa tidak terima kemudian memukuli dan mencukur balik Aop. Polisi dan jaksa kemudian melimpahkan kasus Aop ke pengadilan.
Aop dikenakan pasal berlapis, yakni Pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak, Pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak, dan Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.
Tapi MA menganulir putusan itu dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Putusan yang diketok pada 6 Mei 2014 itu diadili oleh ketua majelis hakim Salman Luthan dengan anggota Syarifuddin dan Margono.
Ketiga hakim MA membebaskan Aop karena sebagai guru ia mempunyai tugas mendisiplinkan siswa. Apa yang dilakukan Aop adalah bagian dari tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana, karenanya terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya tersebut sebab bertujuan mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin. (Antara)
0 comments:
Posting Komentar