Dukung Kami PKN4ALL Dengan Donasi di https://saweria.co/jokosan | Scan Barcode Di Samping | Kami PKN4ALL Besar Karena Dukungan Anda Semua. Terima Kasih!

HUKUM KITA: ANTARA BAJU DAN ISINYA

Ketika aturan diundangkan ke publik ibaratnya mempromosikan sepotong baju. Baju itu untuk dikenakan pada badan kita. Ketika baju itu pas dibadan, berarti ketika membuat sudah diukur sesuai prototipe badan si pemakai. Harapan pembuat baju tentu agar yang mengenakan benar-benar cocok dengan kemauannya. Karena itu sebelum dipotong dan dijahit pada waktu merancang dikonsultasikan pada sang calon pemakai.

Ilustrasi di atas persis pada pembuatan produk hukum, ketika hukum akan diciptakan maka harus ada studi lapangan terlebih dahulu, mendengar keinginan masyarakat. Karena pada hakekatnya yang akan memakai hukum itu adalah masyarakat. Jadi antara keinginan masyarakat dengan pembuat hukum harus sesuai. Harapannya tentu bila diundangkan akan bisa dilaksanakan dengan penuh kepercayaan dan berwibawa. Akan terbentuk supremasi hukum tentunya. Bagaiamana jika tidak sesuai?

Seperti pada ilustrasi di atas, jika baju yang dikenakan ternyata tidak cocok, maka tidak akan dipakai baju itu, atau terpaksa dipakai oleh sang empunya karena tidak ada baju lagi yang dikenakan. Demikian juga hukum kita, bila tidak sesuai dengan keinginan publik, maka aturan itu tidak diindahkan, atau dilaksanakan dengan keterpaksaan. Bisa jadi akan "dimodifikasi" oleh masyarakat, dilaksanakan tapi sesuai dengan selera publik, padahal aturan bakunya tetap. Keadaan demikian membuat aturan tersebut tidak ada 'ruh'nya. Supremasi yang diharapkan muncul dari aturan tersebut tidak ada, karena telah terjadi multitafsir sesuai dengan keinginan masyarakat yang majemuk.

Pada kasus-kasus besar luar biasa dampaknya, akan membuat perdebatan panjang karena dinilai telah cacat produk dan cacat proses. Jika dibiarkan, akan merambah pada sub-sub aturan baik yang formal maupun informal. Kondisi formal akan terjadi gejala perampingan-perampingan atau penyempitan proses pelaksanaan suatu aturan, sedangkan secara informal akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Pola kehidupan yang sering menggejala menampakkan akibat dari cacat proses di atas, sebuat contoh akan membuktikan hal tersebut. 

Jika Anda seorang pendidik (baca: guru) mendapat tugas pelatihan? Jika pernah, apakah Anda menyadari bahwa Anda diajak pada suatu proses yang menyempitkan/mengubah aturan hukum oleh panitia? Sebelumnya panitia membuat undangan yang berisi global acara. Setelah chek-in ditempat tujuan, mengisi administrasi dan diberikan pedoman pelaksanaan kegiatan pelatihan. Disitu tertulis detil rancangan kegiatan lengkap dengan waktu dan nara sumbernya. Maka kita ikut alur dalam pemikiran yang trap dan sistematis jalanya acara. Setelah pelaksanaan, cocokkah dengan apa yang tertulis di pedoman? Rata-rata tidak, atau hampir semua tidak cocok. Mulai dari proses yang dipermudah dengan menyempitkan materi, padahal seharusnya tidak. Meloncati beberapa materi yang mestinya runtut dan mendalam, mengurangi jadual harian, sampai mengurangi waktu/hari pelaksanaan. Mestinya berjalan 7 hari menjadi 5 hari. 

Sadarkah bahwa Anda telah menyepakati sebuah kesalahan melaksanakan aturan? Tentu sadar, karena anda cerdas. Tapi mengapa juga terlarut? Karena pada dasarnya Anda sendiri juga berkeinginan untuk mengubah. Itu artinya sebuah produk aturan telah ditafsirkan dengan berbagai kepentingan. Dalam hal ini kepentingan lokal, kesepakatan antara panitia dengan peserta. Substansi kegiatan memang terlaksana, tapi esensinya berkurang jauh. Jika sebuah aturan telah 'dimodifikasi' sesungguhnya 'ruh' dari aturan itu telah berkurang maknanya.

Keadaan di atas menggejala diberbagai lini kegiatan. Sub-sub aturan juga mengalami perubahan. Sehingga dari hulu hingga hilir turut mengalami penyempitan. Akhirnya pada sasaranpun tidak bermakna lagi. Ini yang penulis rasakan terhadap produk kurikulum yang baru di sosialisasikan dan diimplementasikan. 

Kebetulan penulis sebagai fasilitator nasional, ketika proses kegiatan begitu 'apik' tertata dalam kungkungan penyempitan panitia, setelah on service di lapangan yang terjadi adalah melenceng dari makna. Esensi kurikulum sebagai sebuah produk di'modifikasi' sesuai dengan penafsiran instan yang diperoleh sang peserta (guru) dengan 'bumbu' tambahan rasa malas mengadakan perubahan. Sehingga strategi pembelajaran yang mestinya 'apik' dilaksanakan dan penuh makna, menjadi tidak 'apik' dan tidak bermakna. Adakah signifikansi perubahan pada anak-anak bangsa yang belajar?

Di instansi induk yang penulis tempati juga tidak jauh beda. Mulai dari proses pembelajaran hingga evaluasi dan pelaporan. Diantara yang tahu, masih ada yang pura-pura tidak tahu, di antara yang tidak pura-pura/benar-benar tahu masih juga merubah proses agar mudah dilaksanakan menurut kehendaknya. Ketika pada proses evaluasi belajar, penulis mendapati ketidakcocokan proses penilaian dengan pedoman sesuai permen (dalam hal ini Permendikbud No. 66/2013 yang diperbaharui dengan Permendikbud No. 81A/2013). Penulis mendapati kesalahan proses dalam penilaian baik penilaian sikap, pengetahuan maupun keterampilan. Proses penilaian yang mestinya dilaksanakan sesuai yang tertera pada aturan (pedoman, permendikbud) masih dilaksanakan sesuai kehendak dan pemahaman kurikulum sebelumnya. Hasilnya? Tentu maksud dan tujuan penilaian terabaikan. Anehnya, karena alasan terburu waktu dan kurang pahamnya para guru keadaan tersebut dibiarkan dan menjadi legal. Seolah-olah yang benar-benar salah menjadi benar-benar benar.

Pada kasus di atas, intinya adalah kita selalu 'memodifikasi' sebuah aturan menurut kehendak dan penafsiran kita. Ini artinya apakah kurikulum perubahan ini tidak sesuai dengan keinginan masyarakat? Realitasnya memang kehadiran kurikulum 2013 terkesan mendadak, walaupun sesungguhnya harus dipahami bahwa perubahan itu mutlak harus dilakukan. Jika aturannya telah diundangkan, bahkan sampai tahap implementasi, berarti telah cocok dengan keinginan. Tapi mengapa terjadi cacat proses pada implementasi? Maka satu simpulan yang harus kita buat, perlu pemahaman kembali lebih mendalam melalui proses monitoring dan evaluasi. Asalkan proses monitoring dan evaluasi tidak dibuat 'instant', maka makna yang sesungguhnya dari perubahan kurikulum tersebut lambat laun akan mencapai sasaran.

Akhirnya, kita dapati bahwa baju hukum memang diketahui oleh masyarakat, tapi isinya masih tidak signifikan karena proses negoisasi antarai pembuat dan pemakai tidak dilaksanakan dengan benar. Mari kita kembali pada makna keberadaan sebuah aturan hukum. Bahwa hukum itu diciptakan untuk melindungi masyarakat, meminimalkan ketidakadilan dan membuat tatanan yang tertib dan penuh disiplin. Perlu otoritas penegakan kejujuran dan kedisiplinan diantara pembuat dan pemakai. Sehingga antara baju dan badan terasa pas.

0 comments:

Posting Komentar

Materi Lama

    Dukung Kami PKN4ALL Dengan Donasi di https://saweria.co/jokosan | Scan Barcode Di Atas | Kami PKN4ALL Besar Karena Dukungan Anda Semua. Terima Kasih!

    Postingan Populer

     
    HUKUM KITA: ANTARA BAJU DAN ISINYA