Kini sedang tumbuh sebuah generasi baru yang akan mengubah dunia menjadi berbeda sama sekali dengan sebelumnya (Don Tapscott).
Analisis yang diungkapkan Don Tapscott dalam Growing Up Digital (Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos: 2003:82) di atas didasari oleh kebangkitan kekuatan dan tanggung jawab individu seiring dengan semakin banyaknya orang yang mampu menciptakan masa depannya sendiri.
Individu akan bangkit seiring dihargainya hak-hak asasi manusia dan perlakuan bahwa individu adalah raja (masih dalam ranah ekonomi). Perkembangan selanjutnya akan memasuki ranah pendidikan sehingga ia mempunyai hak dan kemampuan untuk memilih pendidikannya sendiri.
Individu akan bangkit seiring dihargainya hak-hak asasi manusia dan perlakuan bahwa individu adalah raja (masih dalam ranah ekonomi). Perkembangan selanjutnya akan memasuki ranah pendidikan sehingga ia mempunyai hak dan kemampuan untuk memilih pendidikannya sendiri.
Di era globalisasi yang membawa pengaruh kemajuan informasi dan komunikasi sehingga seakan-akan menghilangkan sekat-sekat antar negara (borderless world) berimplikasi pada dunia pendidikan. Apalagi ditambah dengan ekonomi dunia yang mengarah ke ekonomi dunia tunggal seperti konsep Uni Eropa dan ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN), maka kita akan hidup dalam gaya hidup global tentunya dengan pergaulan global. Situasi seperti ini dapat menjadi tantangan sekaligus kendala apabila kita tidak mempersiapkan diri. Perubahan paradigma pendidikan dengan reformasi pembelajaran merupakan salah satu menjawab tantangan global.
Kalau kita melihat analisis dari Renate Nummela dan Geoffrey Caine dalam Making Connections (Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos: 2003:78), salah satu tempat yang beroperasi dengan cara yang sama seperti 50 tahun lalu adalah sekolah lokal. Ini berarti sekolah secara umum perubahan di dalam sekolah masih jalan di tempat. Kita bisa bertanya disini, bagaimana pembelajarannya, guru, kurikulum meskipun telah berubah, sarana dan prasarana, dan sebagainya. Perubahan kurikulum belum tentu diikuti dengan perubahan mindset dan kultur belajar di sekolah. Tentu saja hal ini dikecualikan bagi sekolah yang telah mengubah diri dengan cepat.
Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos menyimpulkan bahwa kekuatan yang paling mendasar bagi perubahan dalam pendidikan adalah para siswa itu sendiri. Berikan kepada anak-anak alat-alat yang mereka butuhkan dan mereka akan menjadi sumber petunjuk yang penting tentang cara membuat sekolah menjadi relevan dan efektif. Namun menurut saya, hal ini saja belum cukup mengingat masih adanya kesenjangan fasilitas pendidikan di Indonesia. Meskipun demikian, siswa kita harus disadarkan dan dipahamkan bahwa individu siswa adalah kunci penting perubahan pendidikan.
Namun peran guru sebagai pendidik janganlah dilupakan. Pembelajaran dalam pendidikan yang berkualitas tetap membutuhkan sosok guru. Ilmu dapat dipelajari sendiri, namun nilai-nilai, karakter dan etika memerlukan contoh atau model agar para siswa lebih percaya dan punya teladan. Ilmu tanpa nilai akan terasa kosong dan nilai tanpa disertai dengan ilmu akan terasa hambar.
Namun peran guru sebagai pendidik janganlah dilupakan. Pembelajaran dalam pendidikan yang berkualitas tetap membutuhkan sosok guru. Ilmu dapat dipelajari sendiri, namun nilai-nilai, karakter dan etika memerlukan contoh atau model agar para siswa lebih percaya dan punya teladan. Ilmu tanpa nilai akan terasa kosong dan nilai tanpa disertai dengan ilmu akan terasa hambar.
Mungkin belum semua sekolah memperhatikan konsep belajar mendasar siswa dan pemenuhan kebutuhannya. Sekolah harus mengajarkan pada para siswa bagaimana cara belajar efektif dan efisien, bagaimana cara mencapai cita-cita, bagaimana sukses bergaul di era sekarang, bagaimana memanajemen diri secara disiplin, serta bagaimana mereka memperoleh model atau contoh teladan yang baik dari para orang tua. Ini jauh lebih penting daripada langsung belajar mata pelajaran dengan jumlah mapel yang banyak sekali untuk sekolah Indonesia.
Banyaknya mata pelajaran dan jam pelajaran di sekolah dalam satu pekan dapat berimbas negatif pada kemandirian belajar siswa. Belum lagi apabila setiap guru menerapkan tugas yang bersamaan, maka siswa akan habis waktunya untuk mengendalikan dunia mereka sendiri. Ingat dengan kemudahan akses internet dan perkembangan TIK maka proses belajar akan semakin mandiri.
Selain siswa, guru merupakan subjek yang juga harus berbenah dalam pembelajaran dan menjawab tantangan pendidikan. Perubahan dalam pendidikan akan jalan di tempat apabila guru-gurunya tidak seirama dalam perubahan pembelajaran. Pahlawan tanpa tanda jasa ini dari sisi komitmen dan pengabdian memang tidak diragukan lagi. Akan tetapi dari sisi cara mengajar atau pembelajaran berperan penting bagi suksesnya peserta didik. Pelatihan dan up date informasi sangat diperlukan seiring dengan kemajuan jaman.
Komunitas Sosbud ASEAN |
Meskipun kita masuk dalam pergaulan dan gaya hidup global khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2015, tetapi ada kecenderungan yang berlawanan sebagaimana diprediksikan oleh John Naisbitt dengan nasionalisme budaya. Sebagaimana kita ketahui, ada 3 pilar komunitas ASEAN, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN.Kerjasama bidang pendidikan termasuk dalam Komunitas Sosial Budaya ASEAN.
Dalam pergaulan global terutama regional ASEAN, kita akan semakin manusiawi dan semakin menegaskan kekhasan budaya sehingga orang Indonesia akan semakin Indonesia termasuk dalam kultur budaya di sekolah. Semakin berkembangnya teknologi dan meingkatnya perekonomian, maka akan semakin kuat pula upaya melestarikan warisan budaya dan sejarah. Dalam paradigma baru, nasionalisme budaya ini harus mendapatkan tempat di sekolah. Efek positif ini akan meningkatkan integrasi nasional di tengah keanekaragaman budaya di Indonesia.
Dalam pergaulan global terutama regional ASEAN, kita akan semakin manusiawi dan semakin menegaskan kekhasan budaya sehingga orang Indonesia akan semakin Indonesia termasuk dalam kultur budaya di sekolah. Semakin berkembangnya teknologi dan meingkatnya perekonomian, maka akan semakin kuat pula upaya melestarikan warisan budaya dan sejarah. Dalam paradigma baru, nasionalisme budaya ini harus mendapatkan tempat di sekolah. Efek positif ini akan meningkatkan integrasi nasional di tengah keanekaragaman budaya di Indonesia.
Oleh karena itu untuk mempersiapkan generasi emas 2045 yang akan mengubah Indonesia menjadi lebih baik daripada sebelumnya diperlukan paradigma baru belajar dengan kemandirian individu dalam belajar yang dijiwai oleh nasionalisme Indonesia. Mereka (siswa sekarang) bukanlah orang yang hidup di jaman guru-guru mereka, sehingga cara mendidik dan tantangan yang dihadapi pun akan berbeda. Semoga berhasil mewujudkan pendidikan yang mampu menjawab tantangan generasi emas dan tantangan global. Selamat hari kebangkitan nasional dengan pentingnya pendidikan yang berkualitas.
0 comments:
Posting Komentar