Dukung Kami PKN4ALL Dengan Donasi di https://saweria.co/jokosan | Scan Barcode Di Samping | Kami PKN4ALL Besar Karena Dukungan Anda Semua. Terima Kasih!

PENYEBAB GURU MALAS BER-PTK

PKG begitu menyentak rekan-rekan guru, bukan karena ini hal baru untuk penilaian kinerja guru, beberapa elemen penilaian yang biasanya dicukupi dengan "berbelanja ria" kini bakal tidak bisa dilakukan lagi oleh rekan-rekan "nakal" kita. Contohnya adalah Penlitian Tindakan Kelas (PTK). Sudah menjadi hal biasa, walaupun ilegal tetap ditempuh serasa halal oleh rekan kita. Mencukupi target nilai masuk ke Gol IV/b (sistim penilaian PAK yang sebelumnya) para rekan kita berbelanja PTK, namanya berbelanja yah pokok jadi dan bisa dipakai. Atau istilah trendnya adalah "menjahitkan" PTK. Disamping karena dipandang ribet oleh mereka, rata-rata mereka yang naik golongan ke jenjang ini usianya sudah lanjut dengan bekal potensi yang pas-pasan. Terdorong oleh "ketakutan" tidak menerima tunjangan, mereka berbondong-bondong mencari solusi yang mudah dan langsung jadi. Disamping itu mereka yang menjual jasa juga mencari mangsa. Jadi klop sekali: Anda butuh, kami sedia. Sehingga bejibun para penjual dan penjahit PTK menawarkan jasa dan dagangannya. Tentu harus kita cari sebab, mengapa diantara rekan-rekan kita rata-rata tidak mau melakukan PTK sendiri, padahal ini sebagian dari kompetensi profesional yang harus mereka miliki? 

1. Menyusun PTK Ribet, 
Menyusun PTK jauh lebih sulit menyusun skripsi, tapi mengapa mengatakan ruwet? Cukup beralasan mereka mengatakan demikian, karena melihat proses dari rekan-rekan yang telah mengikuti bimbingan menyusun PTK selalu disalahkan, dicoret-coret oleh pembimbingnya. Kurang ini, kurang itu, ini bukan PTK, ini harus begini dan seterusnya. Kondisi ini membuat mereka phobi PTK. Nampak ruwet dia pandang. Dan setiap arahan dari yang dipandang "ahli" selalu memberikan wacana dan solusi yang berbeda. Ikut yang mana? Ternyata harus memenuhi beberapa kriteria yang menurut kita tidak ilmiah. Contohnya: PTK yang disusun oleh mahasiswa berbeda dengan PTK yang disusun oleh guru, PTK yang disusun oleh Guru untuk penilaian juga harus mengikuti jalur-jalur induk semang pada institusi yang akan menilai. Nah....ruwet bukan? Padahal, bekal mereka memperoleh ilmu penelitian tindakan kelas diberikan oleh para pakar dari perguruan tinggi, akrab dengan jalur ilmiah objektif. Sementara itu, bila sudah diterapkan  menemui kendala karena jalur birokrasi.
Bayangkan, betapa kecewanya mereka yang telah repot mengatur jadual mengajar dan membuat rencana, kemudian melakukan "action", membuat laporan, ujung-ujungnya ditolak karena tidak memenuhi kriteria yang diharapkan oleh lembaga penilai.
Beberapa rekan profesional yang saya kenal akhirnya "mengikhlaskan" diri ber PTK sebagai wujud sikap profesionalisme mereka, bukan untuk tujuan penilaian angka kredit, bila pengajuan tidak diterima/tidak memperoleh nilai, kelompok profesional ini "ikhlas" untuk pengembangan metodologi mengajar. Salut buat mereka. Kelompok ini hanya segelintir orang.
2. Gaptek
Mohon maaf, untuk pembaca yang masuk dalam kategori ini. Anda tidak usah tersinggung, karena teman-teman Anda banyak yang gaptek. Alasan gaptek (gagap teknologi) berperan besar dalam menghambat motivasi ber-PTK. Karena basic kegiatan PTK bila dilakukan oleh Teknologi akan semakin mudah. Dan semua bentuk-bentuk pelaporan dikehendaki menggunakan teknologi (baca komputer). Tidak ada laporan yang diketik manual dengan mesin ketik biasa. Lembaga penilaipun mewajibkan syarat teknologi ini.
Kembali potensialitas kita diuji. Yang kena ya itu-itu juga akhrinya, siapa dia? Rekan-rekan yang tidak memiliki kemauan dan motivasi belajar TI (teknologi informasi), pada umumnya didominasi oleh kelompok tua / manula. Jangankan mengetik dengan komputer, menghidupkan saja tidak bisa. Memegang mouse serasa memegang semut, mata "melotot" hingga yang mata minus jadi double minus. Disediakan mouse pad (tempat mouse/bantalan mouse) selalu kurang lebar (hahahah...sori tertawa). 
Dapat dibayangkan rekan-rekan "senior" kita yang menunggu masa pensiun, harus belajar komputer, melakukan penelitian, membuat laporan dan merevisi. Ada yang komentar, "lebih baik pensiun dini rek...ketimbang seperti ini..". Tentu ini sikap tidak profesional. Tapi harap maklum, bahwa hadirnya teknologi di negara kita memang lambat. Tapi selayaknya sandangan predikat profesional kita ikuti dengan sikap-sikap profesional kita. Bukankah ungkapan agama mengatakan, "tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat".
3. Disibukkan Sosialisasi Kurikulum
Nah, yang ini mungkin bisa diterima. Pergantian kurikulum bukan hanya menguras uang negara, tapi tenaga para rekan-rekan edukator. Bayangkan.... Sosialisasi awal KTSP hingga kini belum selesai tahap implementasi, sudah diganti. Sepanjang pemberlakuan bertahap KTSP hingga akhir "hayat" KTSP (kalau jadi) masih ada yang namanya "workshop KTSP, Bimtek KTSP"....Nah lo... Siapa yang rugi?
Sekian banyak rekan kita yang silih berganti meninggalkan tugas mengajar demi sebuah korban sosialisasi. Kemajuan pendidikan harus kita dukung sepenuh hati, dengan syarat apakah kebijakan publikasi telah diperhitungkan dengan matang. 
Akhirnya, sebagai sikap profesional, mari kita melayakkan diri mengabdi sesuai dengan profesi kita, profesi seorang pendidik. Adaptif, updatable dan pro kemajuan. 

0 comments:

Posting Komentar

Materi Lama

    Dukung Kami PKN4ALL Dengan Donasi di https://saweria.co/jokosan | Scan Barcode Di Atas | Kami PKN4ALL Besar Karena Dukungan Anda Semua. Terima Kasih!

    Postingan Populer

     
    PENYEBAB GURU MALAS BER-PTK