Jika politik itu Panglima, maka ideology adalah Raja. Gerak bangsa ini melaju dengan cepat jika tataran politik mencapai kematangan. Elemen penting dari politik adalah sebuah tindakan kenegaraan. Implikasinya pada setiap “action” para tokoh dan cendekia. Sedangkan satu sisi, ideology merupakan pijakan tindakan politis yang dilakukan oleh mereka itu.
Di setiap Negara di belahan dunia ini tidak ada satupun para penggagas Negara mengesampingkan ideology, karena itu benar bahwa ideology adalah Raja. Negara yang kuat dilandasi oleh dasar ideology yang mantap. Komitmen memegang teguh keutuhan bangsa akan terjadi jika ideology Negara dikedepankan. Kita ambil contoh Amerika Serikat, bagaimana para punggawa Negara mengedepankan ideology. Mulai dari wamil yang tidak pandang bulu hingga cara warganegaranya bersikap. Karena itu kita jumpai bendera US dimana-mana. Di sepatu anak-anak kita, di “udeng” anak-anak, di kaos anak-anak. Tapi adakah merah putih dipakai oleh anak-anak kita?
Mengapa Paman Sam bisa seperti itu? Karena secara politis, strategi yang dirancang benar-benar mencerminkan adab bangsanya yang serba eksploratif-liberal. Didukung oleh gerakan politik yang benar-benar menjadi panglima. Paman Sam berhasil menyandingkan dengan “apik” antara Politik dan Ideologi.
Ideologi dan Politik Kita?
Sebagai sebuah bangsa, kita sudah berdaulat penuh dalam tataran konsep. Tapi belum secara sosio-realitas. Mengapa? Secara daulat, jelas. Konsep yang ditawarkan oleh UUD Negera Republik Indonesia 1945 begitu nyata tersurat dalam Pembukaannya. Secara sosio-realitas, kita masih perlu banyak menggaulkan kedaulatan dalam setiap aksi politik trans internasional. Untuk itu perlu didukung oleh kekuatan ideology yang dapat menjadi power setiap aksi bangsa-negara kita. Apa belum kuat? Ya. Sebagai bukti adalah tindakan politis yang dilakukan oleh para elemen bangsa masih masiv. Tidak menjalur dan cenderung bercermin terhadap apa yang diluar pernah lihat, bukan didalam yang pernah dilihat. Kondisi internal carut-marut, tidak menjadi tauladan sikap politik yang baik. Sehingga mudah dibaca dan dinilai bahwa bangsa kita masih rapuh dan mudah disintegrasi. Sikap individualistis dikedepankan sementara secara komunal dikesampingkan. “eker-ekeran” masalah kursi, kesempatan memenangkan tender, rebutan jabatan dan se-abrek kepentingan kelompok begitu nyata.
Dari ilustrasi tersebut tidak memberikan contoh edukatif sama sekali. Yang ada adalah sikap menjalur sesuai selera, semestinya tidak demikian. Sikap politik para elemen bangsa harus memberikan kedewasaan berfikir, dapat ditiru dan sangat nasionalis.
Apa Kaitanya Dengan PKn dan PPKn?
Tidak hanya sebagai ajang pendidikan bela Negara, seharusnya PKn memberikan gambaran macro sekenario pembangunan ideology bangsa, tataran kurikuler yang dirumuskan yang implementasinya dalam materi ajar juga harus semi-praktis. Ternyata kita masih malu-malu. Sehingga “ending Purposes”nya tidak jelas. Tidak usah diuraikan panjang lebar hal ini, salah satu buktinya adalah kini para pemikir bangsa kembali pada PPKn. Itu jawabanya.
Apak karena saya guru PPKn bicara seperti ini? Tidak juga. Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, yaitu pendidikan tentang Pancasila sebagai dasar ideology bangsa, sementara kewarganegaraan adalah Civic Citizhenship, yang biasanya pada setiap Negara menjadi pondamen arena pendidikan ideology dan sikap kenegaraan, di Negara kita tidak menjadi titik penting. Seharusnya ada sedikit dogma pada pendidikan Pancasilanya. Karena tataran ranah sikap, sikap ideology bangsa. Yang terjadi, politik telah menghancurkan semuanya. Bayang-bayang masa lalu menjadi alasan para elemen bangsa. Seolah sikap masa lalu menjadi pobhi, dihindari dan tidak demokratis. Tidak mengedepankan esensi, tapi nilai praktisnya. Sehingga terjadi missing velue ketika kita mengingat P4 tempo dulu.
Berubahnya PKn menjadi PPKn sebagai upaya sadar, bahwa para pemikir bangsa ini terbangun dari kelelapan sebuah sikap politik yang keliru. Mendominankan Pancasila sebagai salah satu mata ajar di lembaga pendidikan tidak keliru, tapi harus. Prakteknya jangan hanya menjadi syarat, yang seolah-olah tidak penting. Karena pemetaan pendidikan, PPKn jadi dikesampingkan. Boleh siswa kita “pinter” Matematika, Fisika, Bahasa Inggris. Tapi kalau dasar negaranya tidak dipahami bisakah merehabilitasi bangsanya? Mari kita tidak terjebak pada dikotomi nilai yang ambigu dari penerapan dan pengamalan Pancasila, tapi kita mencoba mencermati tiap tindakan kita dengan pandangan hidup bangsa, Pancasila. Mudah-mudahan perubahan kurikulum ini dan bertambahnya jam PPKN menjadi 3 Jam akan kita jadikan momentum untuk menanamkan sikap ideology yang efektif. Sehingga melahirkan generasi yang memiliki sikap politik adaftif. Selamat menyongsong kurikulum baru, khususnya Guru PPKn.